Selasa, 07 September 2010

[4] Renungan Malam

Malam ini sepulang kantor aku menepi ke sebuah kedai kopi di Kemang. Aku bukan penggemar kopi, tapi sepertinya segelas espresso akan mengurangi rasa penat setelah seharian bekerja.

Malam ini kedai kopi itu lumayan sepi, hanya ada beberapa muda-mudi yang serius dengan laptop masing-masing. Aku mulai sibuk dengan pikiranku sendiri. Ingatan tentang malam sepi itu kembali merebak.

Sore, di sebuah Sabtu, semester pertama kelas 3 SMP. Pramuka sekolahku mengadakan perkemahan kecil di sekolah untuk menyambut anggota baru. Hanya acara menginap semalam di sekolah, dan kegiatan-kegiatan pengenalan sekolah dan organisasi. Aku bukan seorang pramuka yang rajin. Tapi api unggun dan kegiatan di sekolah malam hari dengan anggota baru terlalu menggiurkan untuk ditolak.

Acara berlangsung sangat menyenangkan. Api unggun, pementasan seni spontanitas hingga diskusi kecil dilakukan dengan sederhana tapi mengena.

Pukul sepuluh malam, waktunya untuk tidur. Anggota pramuka baru berduyun-duyun masuk ke ruang kelas yang difungsikan sebagai barak tempat istirahat.

Seperti kegiatan-kegiatan pramuka pada umumnya, sesaat selepas tengah malam para anggota dibangunkan. Mereka digiring menuju lapangan basket di samping sekolah. Lapangan itu gelap di malam hari, hanya diterangi beberapa lilin yang diletakkan di beberapa titik. Bulan nyaris bulat sempurna, sinarnya yang pucat ikut menyelimuti malam di lapangan itu.

Anggota junior duduk bersila di lantai dengan rapi.

Kegiatan itu dinamai renungan malam. Di tengah malam yang sunyi dan tenang, mereka digiring untuk merenung. aku tak terlalu mengerti mengenai hal itu.

Samar-samar, diantara sinar lilin yang temaram aku melihat mata yang bersinar itu. Wajah merona disinari rembulan. Nyaris tanpa ekspresi. Katy.

Katy anggota pramuka senior. Ia memegang jabatan yang cukup strategis di organisasi itu. Yah, setidaknya hingga malam ini. Kepengurusan akan segera beralih ke siswa kelas 2.

Aku duduk dan memeluk kedua lutut untuk menghangatkan diri. Katy pasti tak mengenaliku, sebab yang terjadi kemudian adalah ia beranjak dan duduk pada jarak setengah meter di sebelah kiriku.

Aku nyaris tak bergerak. Katy duduk memeluk kedua lututnya persis seperti yang kulakukan. Dan menopangkan dagunya di lutut. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan diri untuk terus memperhatikannya. Dan oh tentu saja, ini lapangan basket. Kesan cewek tomboy yang luar biasa menjengkelkan nyaris lenyap seluruhnya.

"Sejak kapan pramuka membuatmu tertarik ?"

Suara Katy pelan nyaris berbisik. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia sedang memulai sebuah pembicaraan. Denganku.

"Aku tak tertarik dengan pramuka."

"Lalu ?"

"Iseng, tak ada yang bisa dikerjakan di malam Minggu. Lagipula aku tak ada urusan denganmu, iya kan ?"

Sudah terlanjur, aku siap menghadapi apapun. Termasuk jika Katy tersinggung dan marah karena perkataanku. Tapi aku salah.

"Yah, lakukan apapun yang kau mau." Katy berkata bahkan tanpa melirik ke arahku.

"Tentu. Dan bayangkan saja dulu kita duduk di sini dan menurut saja dikerjai habis-habisan oleh senior."

Aku tak berniat membuat lelucon apapun. Tapi rupanya Katy cukup menangkap maksudku. Dia mengatupkan bibir menahan tawa. Pipinya makin merona. Aku diam saja.

Kami mengobrol kemudian. Katy bahkan harus berjuang keras menjaga agar suaranya tetap terkendali.

Kami membicarakan basket, masa kelas 1 dan 2 yang terlampau cepat berlalu. Dan kami membicarakan bulan.

Dan masih, hingga kini setiap aku menulis tentang dia, hatiku jadi kacau balau..

Jika kalian pernah mendengar ungkapan bahwa malam minggu adalah malam panjang. Aku mulai menentangnya. Malam itu berjalan dengan luar biasa cepat. Tak lebih dari 2 jam, tapi aku bisa pastikan bahwa itu adalah obrolan terlamaku dengan Katy.

Aku pasti terlihat seperti orang tak waras sampai hari Senin. Pagi itu Niko menepuk pundakku dari belakang.

"Kau keren!"

"Sejak kecil ibuku mengatakan itu," aku mencoba menyadari apa yang sedang dibicarakan bocah itu.

"Kau berduaan dengan Katy malam itu di lapangan basket. Aku bertaruh kau pasti sudah mengajaknya berkencan Sabtu depan, atau sejenisnya."

Sebuah kilat berkelebat di kepalaku. Niko melihatku malam itu. Dan kemudian aku harus berjuang mati-matian untuk memastikan ia tak menyebarkan cerita itu kemana-mana.

"Kau memulai dengan mengencani anak guru Akuntansi. Aku yakin jika berusaha cukup keras kau bisa mendapatkan anak wali kota musim depan. ha ha ha."

Niko pasti bangga pada leluconnya sendiri. Ia melangkah pergi dengan tawa yang tak habis-habisnya.

Aku melirik Katy di bangku depan. Dia sedang asyik dengan bukunya. Aku berkata pada diriku sendiri, sesuatu yang besar sudah dimulai.

Tidak ada komentar: